TURIS YANG MALANG
Teman-teman sekalian yang Budiman,
tulisan ini saya buat pada hari sabtu, 8 Februari 2020 tepat dua hari setelah kepulangan
saya dari Turki. Adapun tujuan saya membuat tulisan ini adalah berbagi experience
atau pengalaman dengan kalian selama saya berada di Turki. Mohon maaf jika
tulisan ini masih banyak kekurangan. Yang terpenting adalah semoga kalian bisa
mengambil Intisari yang baik dari tulisan ini dan mudah-mudahan bermanfaat
untuk pengetahuan adik-adik. Enjoy.
Saya mengikuti sebuah
acara yang bertema tentang pemberdayaan pemuda menyongsong era- 2045 mendatang.
Acara ini diadakan oleh PPI (
Perhimpunan Pelajar Turki) di kota Istanbul, Turki yang bernama IYS (Istanbul
Youth Summit) di bawah naungan organisasi YBB (Youth Break The Boundaries) dan
perangkat pemerintahan di kota Istanbul.
Jadi bisa dibilang acara ini cukup bergengsi.
Acara ini diikuti oleh
ratusan pemuda dari belahan Indonesia, mulai dari siswa SMA, mahasiswa, sampai
dosen pun ikut serta dalam acara ini. Tujuan dari acara ini adalah mengumpulkan
seluruh pemuda Indonesia untuk diajak berkolaborasi satu sama lain yang mana
dari perkumpulan ini menghasilkan sebuah problem solution dengan formula
yang berbeda-beda dan menghasilkan sesuatu yang baru menyongsong pemerintahan
dan pembangunan pada Indonesia emas 2045 nanti. Untuk itu acara ini sebagai upaya
membentuk wadah guna mempersiapkan hal-hal tersebut.
Sebelumnya pada tanggal
16 September 2019 saya mendapat info event ini dari teman saya, namanya Arif,
lalu saya mendaftar dengan mengikuti rules atau persyaratan-persyaratan yang
ada didalamnya. Mulai dari mengeshare info pendaftaran, merepost postingan di
Instagram sampai membuat lembar essay. Tidak jauh, harapannya adalah agar diterima
dan menjadi peserta acara ini. Kapan
lagi bro, di Turki. Gumamku dengan semangat dalam hati.
Dua puluh hari setelahnya tepat pada tanggal 5
Oktober, saya mendapat sebuah email yang bertuliskan bahwa saya lolos menjadi
peserta dari acara IYS ini yang akan diadakan pada tanggal 27 – 30 Januari 2020.
Bukan main saya sujud syukur dan memposting kesyukuran ini di Instagram. Doa
dan dukungan besar saya dapati dari beberapa teman online maupun offline.
Alhamdulillah. Sekedar info bahwa yang akan berangkat ke Turki pada saat itu adalah
berjumlah empat orang, saya sendiri, Arif, Hidrilah, dan Rahmad. Mereka juga dari
institut yang sama dengan saya.
Singkat cerita tibalah waktunya keberangkatan. Saya memesan
tiket dengan jadwal keberangkatan empat hari lebih awal dan pulang tiga hari
lebih telat. Tujuannya supaya bisa berlama-lama di Istanbul, lumayan, dan namanya
perjalanan jauh, apalagi keluar negeri tentunya banyak pengeluaran yang sangat
banyak apalagi bagi mahasiswa yang kalau makan diatas harga 15 ribu saja sudah
mahal. Maka dari itu, untuk mensiasati hal mengerikan itu saya berinisiatif untuk menghubungi teman yang
sedang berkuliah di Turki dengan niat agar bisa menginap di apartemennya untuk
beberapa waktu lamanya, lalu meminta kesediaannya untuk menjemput kami di
bandara. Dan Alhasil kami berempat
mendapatkan izin untuk tinggal beberapa waktu di tempatnya dan bersedia
menjemput kami di bandara nantinya. Mulailah kami memulai perjalanan panjang
ini, yeay goes to Turki.
Perlu teman-teman ketahui
bahwa keberangkatan kami berbeda-beda waktu, saya dan seorang teman saya Rahmad,
berangkat tanggal 24 februari pukul 00.25 WIB, dini hari dan duanya lagi pada
pukul 08.45 WIB. Akhirnya keberangkatan kami berbeda dan tidak bersama. Pada saat
yang sama Rahmad juga menelpon temannya Arif yang juga berkuliah di Turki untuk
menjemput kami berdua di bandara. Dan pihaknya menyanggupi. Inshaallah aman.
Perjalanan ini kami
tempuh menggunakan Maskapai penerbangan Qatar Airways. Dengan durasi perjalanan
selama 10 jam di tambahan transit Qatar selama 8 jam, sehingga total perjalanan
18 jam. Problem pertama yang saya rasakan selama berada di pesawat adalah
makanan. Makanan yang dihidangkan oleh pesawat merupakan makanan ala Timur
tengah, benar-benar jauh dari rasa nikmat, dengan rasa yang beraneka ragam. Apapun menunya tidak akan terlepas dari aroma
rempah-rempah yang kuat dan tajam, sehingga sedikit saja tercium oleh aroma ini
akan membuat tenggorokan menelan ludah seolah-olah terkunci lalu merambat ke
hasrat makan. Sehingga nafsu makan berubah dari lapar menjadi tidak berhasrat
makan sama sekali. Contoh saja, ketika itu saya dihidangkan sebuah menu makanan
berat yaitu pasta, pasta ini beraroma kayu manis dan sedikit merica, namun
diatasnya ada lumeran keju hangat yang beraroma kuat juga. Bisa dibayangkan
komposisi ini sangat aneh bagiku, tapi hidangan ini begitu nikmat bagi
orang-orang asing di sekitarku. Mereka terlihat menikmati menu yang dihidangkan
untuknya itu. Meski teksturnya lebut,
tapi itu terasa tawar dan asin. Rasanya hampir muntah. Dan Yah, begitulah
komentar saya tentang makanan pesawat versi saya. Namun, acap kali saya
terpaksa makan karena lapar yang membuncah.
Sepuluh jam berlalu dan
akhirnya masakapai saya tiba di Qatar untuk melakukan transit. Saya transit
selama delapan jam. Delapan jam ini kami pakai untuk berkeliling airport dan
melihat-lihat harga barang yang di dagangkan. Sampai di satu titik kami
kelaparan dan harus bertahan hidup. Akhirnya kami menemukan satu restoran arab
yang menjual nasi goreng dan omelet. Ini sangat cocok di lidah, apalagi hanya
untuk sekedar sarapan. Yang penting murah, cocok di lidah dan kenyang, itu
sudah Alhamdulillah banget.
Karena ini di luar negeri, tentu tidak pernah lupa untuk mengabadikan moment di salah satu platform favorit, instagam. Cekrek sana cekrek sini, mulai dari gambar makanan zoom in, zoom out sampai harga juga di foto. Sampai-sampai saya bilang ke Rahmad ”Jangan terlalu banyak story, entar ngalahin artis” sambil senyum ku lempar ke arahnya. Story di Instagram kami berdua sampai titik-titik, entahlah kami ini seperti selebgram saja.
Yang ditunggu pun
akhirnya datang. Setelah melewati waktu-waktu delapan jam yang penuh excited, suara
pengumuman pun terdengar. Nama pesawat, kode penerbangan dan tujuan penerbangan
disebutkan. “ya itu penerbangan kami ke Istanbul!”. Itulah panggilan untuk masuk ke pesawat berstatus last
call bagaikan panggilan ke surga.
Dua
belas jam berlalu dalam maskapai yang sama. Lalu landing di bandara attaturk,
Istanbul bagian Eropa. Tepat pada jam 9 malam turunlah kami dari dalam pesawat.
Mengantri di imigrasi mempersiapkan passport dan visa untuk diperiksa sebagai
tanda bahwa kami diprbolehkan untuk masuk ke Negara ini. Durasi izin tinggal
kami tercantum pada visa selama 30 hari. Berbagai macam bangsa terlihat disini.
Mereka di dalam barisan, terlihat seperti kumpulan snack coklat warna warni. Mulai dari kulit
putih, sawo matang, kuning langsat, sampai kulit hitam pun ada semua. Tapi
bukan itu intinya, intinya adalah seketika perasaanku berubah menjadi tidak
enak. Entah kenapa begitu tiba-tiba. Kini giliran saya yang berada tepat depan
petugas imigrasi, kuberikan passportku lalu dia melihat wajahku seraya
menyamakannya dengan foto yang ada di passport. Beberapa detik terisi dengan
keheningan, wajah bapak petugas versus wajah luguku ini, ya Ampun. Beberapa
lama kemudian dia mengangguk dan memberikan
kembali passportku seraya mempersilahkanku untuk keluar dari barisan. Akhirnya
lolos dari imigrasi ini dengan aman.
Ponsel
Rahmad terdengar nyaring dikala kami berdiri dalam menunggu barang bagasi. Diambilah
ponsel tersebut dari dalam kantong celananya. Terlihat raut wajah santai rahmad
berubah mejadi merah padam tiba-tiba. Lalu dengan lesunya ia berkata kepadaku ;
“ afwan sayid*, si Arif gak bisa jemput kita malam ini..!” – “lah terus gimana
dong ?” teriakku pelan – “gak tau nih kayaknya kita bakal nginep di bandara
ini”, masih dalam keadaan lesu. Gimana tidak lesu, ini kali pertamanya kami di
Turki, hanya berdua dan tidak ada penumpang lain sesama Indonesia yang bisa
kami tumpangi walau hanya semalam. Kami berdua panik tetapi tetap mencoba
menenangkan diri. Tempat yang paling pertama kami cari adalah mushollah. Berwudulah
kami lalu melaksanakn shalat. Bukan untuk shalat hajat atau shalat taubat, tapi
shalat isya. Selama di pesawat kami belum sempat melaksanakan shalat isya.
Setelah
itu kami mencari jalan lain agar ada seseorang yang baik sekiranya bisa kami
mintai pertolongan minimal mendapat tempat transit sekedar menaruh barang dan
menginap walau hanya semalam. Mulai dari
kakak kelas yang tinggal di Turki sampai teman sebaya yang sekolah di Turki pun
malam itu belum ada yang bersedia menolong. Bisa dibilang nihil. Kartu ATM saya juga ternyata malam itu belum
bisa dipakai untuk menarik uang. Ditambah dalam dompet saya hanya ada rupiah
dan dolar, dolar pun itu adalah kumpulan uang dari teman-teman bukan milik saya
seutuhnya. Sampai satu orang dari kakak kelas saya yang sekolah disini menelpon
dengan video call dan mengarahkan kami untuk mengikuti arahan beliau
dikarenakan belum bisa menjemput malam itu. Satu keadaan yang membuat shock
saya ketika itu, yaitu suhu, suhu di Istanbul mencapai 3 derajad celcius. Badan
saya langsung kaget dan menggigil, kedua tangan dimasukkan kedalam saku. Lalu
mencoba menghembuskan napas, “fuuuhh…” -“eh..” saya tersenyum, “ternyata ada
asapnya keluar dari mulut kaya di film-film”, sedikit ngakak gumamku.
Bus-bus dari jalur
tertentu bergantian memasuki halte satu-persatu. Namun tidak satupun dari bis
ini yang bertuliskan inggris rute Bahasa inggris atau semacamnya, semuanya berbahasa
Turki. Bingungnya kami setengah mati. Sesekali kami bingung untuk mengikuti
petunjuk yang diberikan kakak kelas ini. Dari petunjuk rute satu ke rute yang
lain, dari pintu bis satu sampai ke dua puluh tidak satupun yang dapat kami
pahami.
Kami
berlarian sana-sini untuk melihat rute
tujuan kami. Tangan kanan memegang handphone sedangkan tangan kiri dimasukkan
ke dalam kantong jaket yang menahan dingin, begitu terus bergantian antara
tangan kiri dan kanan. Malam itu dingin banget sampai bibir perlahan – lahan mulai
mengering. Namun dengan pelan-pelan dan sabar beliau tetap mengarahkan sehingga
kami menemukan satu rute bus yang sesuai dengan arahan kakak kelas ini. Handphone
harus kami berikan ke agabhey (Baca : Abi,
Mas) turki karyawan angkutan bus ini. Percakapan pun dimulai. Sesekali
abi nya mengangguk dan mengatakan “tamam” dengan jempol dihadapkan ke kami
berdua. Heran dan benar-benar tidak paham apa yang mereka diskusikan. Yang ada
dalam pikiranku adalah bagaimana cara bisa keluar dari bandara ini dan
menemukan tempat menginap, sesederhana itu. Tidak lebih dari tiga menit kami
menunggu lalu kata akhir dari keduanya adalah “tamam”. Sepahamku kata tamam
dalam Bahasa Arab artinya “oke” atau ungkapan membenarkan sesuatu. Handphone
diberikan kembali padaku, Dan ternyata benar kata “tamam artinya pas atau
benar. Alhamdulillah. Akhirnya barang bagasi kami dinaikan ke dalam bus satu
persatu. Dengan menggunakan Istanbul Kart akirnya kami bisa menaiki bus ini
dengan tenang sentosa. Beberapa menit setelah akhirnya dapat duduk di dalam bus
lalu menghela napas panjang, akhirnya tidak jadi menginap di hotel bulan
bintang bandara cekikku dalam hati.
Tapi
jujur setelah kejadian itu saya mengambil banyak pelajaran. Diantaranya adalah
ketelitian, kehati-hatian, dan koneksi. Teliti dalam hal apa ? teliti dalam hal
berpergian, hendaknya kita selalu meneliti barang-barang bawaan, apalagi
berpergian jauh keluar negeri. Kehati-hatian, dalam menyampaikan informasi,
dengan siapa kita berangkat, denga siapa kita dijemput dan lain sebagainya.
Lalu koneksi, kalau kita tidak memiliki koneksi, pasti ujung-ujungnya menginap
di hotel yang harganya mahal, apalagi bagi seorang mahasiswa seperti saya
sekaligus seorang turis. Kalian juga kalau berpergian jauh hendaknya jangan
seperti kami kurang hati-hati dalam menerima informasi. Dan bagi temen-temen
yang menjadi penyambut teman kalian dari negeri lain, hendaknya
menginformasikan ketidakbisaan kalian dalam menjemput teman kalian, kalau tidak
kasihan mereka, seperti yang kami berdua rasakan. Semoga tulisan curhat ini
bermanfaat. Dan bagi teman-teman pembaca yang belum pernah ke Turki semoga
suatu saat kalian bisa berkunjung di Negeri dua benua ini. Amin ya Rabbal
Aalamin.
Komentar
Posting Komentar